Perum Plamongan Hijau Jl.Plamongan Permai II No.390 Semarang-Jawa Tengah.

10 hal yang perlu anda ketahui tentang UU Pengampunan Pajak Di Indonesia

OPINI: Fakta Seputar Tax Amnesty

Dua pekan terakhir ini, kebijakan pengampunan pajak yang sedang digulirkan dikesankan seolah-olah suatu kebijakan yang negatif. Kesan yang dilekatkan, yaitu sulit dalam pelaksanaannya, dibuat untuk menakut-nakuti masyarakat, dan melenceng dari tujuan awalnya yang hanya ditujukan kepada golongan wajib pajak besar sekarang menyasar kepada wajib pajak kecil.

Apakah memang benar kesan yang ditempelkan tersebut? Tulisan ini mencoba untuk menempatkan kembali maksud dan tujuan dibuatnya kebijakan pengampunan pajak berdasarkan bunyi dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengertian

Secara sederhana, pengampunan pajak merupakan uluran tangan pemerintah yang ditawarkan kepada wajib pajak, untuk menyelesaikan kewajiban perpajakan mereka yang selama ini belum atau belum seluruhnya dilaksanakan dengan benar melalui mekanisme yang sederhana.

Dari pengertian di atas, kebijakan pengampunan pajak ini menyasar kepada wajib pajak yang tidak patuh. Jadi, bagi wajib pajak patuh tentunya bukan menjadi sasaran dari kebijakan ini.

Pertanyaannya, apa yang menjadi kriteria ketidakpatuhan dalam kebijakan pengampunan pajak ini?

Kriterianya adalah wajib pajak yang belum atau belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban pajak terkait dengan dua jenis pajak, yaitu: (i) Pajak Penghasilan (PPh), dan (ii) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).

Atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban dua jenis pajak tersebut, pemerintah memberikan pengampunan “melalui” pengungkapan harta yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir, dan membayar uang tebusan berdasarkan basis harta yang belum dilaporkan tersebut.

Ada dua pertanyaan besar terkait dengan pemilihan “basis” harta untuk menebus ketidakpatuhan wajib pajak atas dua jenis pajak tersebut.

Pertama, kenapa harta? Kenapa bukan penghasilan kena pajak dan atau penyerahan barang kena pajak yang memang menjadi basis pengenaan pajak atas dua jenis pajak yang diampuni?

Kedua, kenapa hanya harta yang belum atau belum dilaporkan sepenuhnya dalam SPT PPh Terakhir? Bagaimana dengan harta yang telah habis dikonsumsi atau dibiayakan yang bisa saja diperoleh dari penghasilan yang belum dikenakan PPh yang mana harta tersebut tentu sudah tidak muncul lagi dalam SPT PPh Terakhir.

Alasannya, menurut penulis, tidak lain untuk kesederhanaan yang memang hendak dituju oleh kebijakan pengampunan pajak ini. Walaupun demikian, tetap ada logika pembenaran atas pemilihan basis harta sebagai dasar penghitungan uang tebusan.

Logika pertama, dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak dinyatakan bahwa kewajiban perpajakan yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh wajib pajak, terpresentasikan dalam harta yang belum pernah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.

Logika kedua, kenapa melalui mekanisme pelaporan SPT? Sesuai dengan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), disebutkan bahwa fungsi SPT PPh adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak terutang dan untuk melaporkan “harta” dan kewajiban.

Tidak menyampaikan harta dalam lampiran SPT PPh dikategorikan sebagai SPT tidak lengkap yang mempunyai konsekuensi hukum.

Dengan dasar pemilihan basis uang tebusan sebagaimana disebutkan di atas, konsekuensi logis terkait harta sebagai basis uang tebusan adalah tidak mempermasalahkan harta yang diperoleh dari penghasilan yang belum dikenakan pajak, yang sudah habis dikonsumsi atau digunakan sebelum SPT PPh Terakhir.

Juga, tidak memperhitungkan asal usul harta apakah berasal dari penghasilan yang sudah dikenakan pajak atau belum. Serta, tidak melihat  apakah berasal dari penghasilan yang objek pajak atau bukan objek pajak.

Dari penjelasan tersebut, harus dibedakan antara “pengertian” pengampunan pajak untuk menghapuskan pajak terutang atas kewajiban dua jenis pajak, dan “basis” harta pengitungan uang tebusan yang disederhanakan untuk mendapatkan fasilitas penghapusan pajak terutang atas dua kewajiban jenis pajak yang diampuni.

Adapun bagi wajib pajak patuh, tetapi kelupaan tidak memasukan hartanya dalam SPT PPh Terakhir, yang terkena imbas dari kebijakan pengampunan pajak karena terkait dengan definisi ketentuan “harta yang belum atau belum sepenuhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir”, diberikan hak untuk membetulkan SPT atau ikut pengampunan pajak untuk mendapatkan fasilitas lainnya di luar penghapusan pajak terutang. Misal tidak diperiksa.

Nilai Harta

Dalam ketentuan pengampunan pajak, yang dimaksud dengan harta “yang belum seluruhnya dilaporkan”,  hanya terkait kewajiban harta yang secara “kuantitas”belum sepenuhnya dilaporkan. Bukan terkait dengan “nilai” harta yang sudah dilaporkan tetapi nilainya kurang dilaporkan.

Pada prinsipnya, penilaian harta dibagi menjadi dua berdasarkan pengelompokannya, yaitu harta berupa kas dan harta berupa selain kas.  Untuk harta kas dinilai berdasarkan nilai nominal, sedangkan harta selain kas berdasarkan nilai wajar.

Lebih lanjut, nilai wajar didefinisikan sebagai nilai yang menggambarkan kondisi dan keadaan dari harta yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian wajib pajak. Pertanyaan yang mengemuka, apakah nilai wajar yang ditentukan oleh wajib pajak masih dapat dikoreksi oleh Dirjen Pajak?

Sesuai Pasal 4 ayat (3) Peraturan Dirjen Pajak Nomor 11 Tahun 2016, ditegaskan bahwa nilai wajar yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta tidak dilakukan pengujian atau koreksi.

Artinya, berapapun nilai wajar yang disampaikan oleh wajib pajak akan diterima. Dengan demikian, tidak relevan lagi kita memperdebatkan nilai wajar ini.

Menyasar Siapa?

Kebijakan pengampunan pajak ini ditujukan kepada wajib pajak tidak patuh. Perlu ditegaskan kembali, dalam konteks pajak penghasilan, “ukuran” subjek pajak berupa orang pribadi dan badan usaha yang wajib membayar pajak adalah ketika memperoleh penghasilan di atas ambang penghasilan kena pajak, yang disebut sebagai wajib pajak.

Wajib pajak membayar pajak penghasilan proporsional sesuai dengan jumlah penghasilannya. Wajib pajak berpenghasilan besar akan membayar pajak penghasilan besar.

Sebaliknya, yang penghasilannya kecil akan membayar pajak penghasilan kecil. Oleh karena itu, tidak tepat dikatakan kebijakan pengampunan pajak ini hanya ditujukan kepada wajib pajak golongan penghasilan tertentu saja.

Kebijakan pengampunan pajak ini, sekali lagi, menyasar semua orang pribadi dan badan usaha yang mempunyai penghasilan di atas ambang batas penghasilan kena pajak yang tidak patuh. Bagi yang penghasilannya di bawah ambang batas penghasilan kena pajak, tentu bukan subjek dari kebijakan pengampunan pajak.

Dari pemaparan di atas, sangat jelas bahwa kebijakan pengampunan pajak ini ditujukan kepada wajib pajak tidak patuh untuk menyelesaikan kewajiban perpajakan mereka dengan cara sederhana. Jadi, tidak ada maksud untuk mempersulit apalagi untuk menakut-nakuti.
http://bisnis.liputan6.com/read/2594622/opini-fakta-seputar-tax-amnesty