Perum Plamongan Hijau Jl.Plamongan Permai II No.390 Semarang-Jawa Tengah.

Dampak Penerapan Akuntansi Nilai Wajar

Dampak Penerapan Akuntansi Nilai Wajar

Konvergensi standar pelaporan keuangan menuju International Financial Reporting Standard (IFRS) sudah pelak tidak dapat dihindari lagi oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia, melalui Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), telah melakukan proses konvergensi ini dengan mengadopsi  beberapa standar keuangan dari International Accounting Standard Board (IASB) ke dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Proses konvergensi ini akan membawa perubahan besar dalam praktek pelaporan keuangan di Indonesia dari yang semula mengacu pada akuntansi kos historis menjadi mengacu pada akuntansi nilai wajar. Perubahan tersebut terjadi karena beberapa standar IFRS/IAS  menggunakan dasar pengukuran nilai wajar.

Penggunaan akuntansi nilai wajar ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi ekonomi di Indonesia, baik secara mikro maupun makro. Secara makro, penggunaan akuntansi nilai wajar akan mempengaruhi penerimaan pajak, likuiditas pasar keuangan, dan bahkan krisis finansial (seperti yang banyak dituduhkan oleh pebisnis di Amerika). Secara mikro, penggunaan akuntansi nilai wajar akan mengubah pelaporan keuangan perusahaan menjadi lebih transparan dan menghasilkan informasi keuangan yang lebih relevan dan komparabel bagi investor. Walaupun penggunaan akuntansi nilai wajar membawa dampak baik yang sesuai dengan tujuan pelaporan keuangan, banyak kalangan, terutama pebisnis, masih menentang penggunaan akuntansi nilai wajar. Apa itu sebenarnya akuntansi nilai wajar? Mengapa implementasinya masih menjadi sebuah kontroversi? Dan akan seperti apakah dampak dari penerapan akuntansi nilai wajar bagi kondisi keuangan perusahaan?

Nilai wajar

Menurut PSAK 50, nilai wajar adalah nilai suatu aset untuk dapat dipertukarkan atau suatu liabilitas diselesaikan antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi secara wajar (arm’s length transaction), bukan atas transaksi paksaan, likuidasi paksaan, atau penjualan paksaaan (distressed sale). Penerapan akuntantansi nilai wajar dapat dicontohkan dalam suatu lelang dimana suatu aset berupa lukisan ditawarkan dengan nilai tawar sebesar Rp10.000.000. Para peserta lelang menawar aset tersebut dengan berbagai nilai tawar sampai pada akhirnya aset tersebut terjual kepada penawar tertinggi dengan nilai jual sebesar Rp30.000.000, maka nilai tawar tertinggi tersebutlah yang menjadi nilai wajar atas aset tersebut. Jadi, nilai wajar suatu aset atau liabilitas dapat diestimasikan paling baik menggunakan nilai pasar aset atau liabilitas tersebut. Namun, perlu diingat, bahwa tidak semua aset mempunyai nilai pasar atau jikalaupun ada nilai pasar tersebut tidak selalu bisa diandalkan. Untuk itu, IAS 39 mengatur dalam suatu tiga level hierarki yang membagi nilai wajar berdasarkan nilai input yang digunakan. Tiga level hierarki tersebut adalah

  • Level 1: Input untuk menentukan nilai wajar berdasarkan kuotasi harga taksesuaian untuk aset dan liabilitas yang identik  dalam suatu pasar yang aktif;
  • Level 2: Input untuk menentukan nilai wajar berdasarkan kuotasi harga sesuaian untuk aset dan liabilitas yang  mirip atau berdasarkan kuotasi harga taksesuaian untuk aset dan liabilitas yang identik  dalam suatu pasar yang tidak aktif;
  • Level 3: Input untuk menentukan nilai wajar bukan berdasarkan data pasar (estimasi dan judgement dari manajemen). Nilai wajar ditentukan dengan suatu model penilaian atau ditentukan oleh seorang penilai.

Kontroversi Penggunaan Nilai Wajar

Pengukuran berdasarkan nilai wajar berlaku di banyak standar PSAK yang mengadopsi IFRS/IAS (seperti misal PSAK 16, PSAK 50 dan 55; PSAK 48, dll). Namun, pengukuran aset dan liabilitas keuanganlah yang menjadi sumber kontroversi mengenai penerapan akuntansi nilai wajar. Pro-kontra yang belum tuntas mengenai penerapan akuntansi nilai wajar ini tidak lain timbul karena banyak kalangan menuduh bahwa penerapan akuntansi nilai wajarlah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya krisis finansial global. Tuduhan tersebut disebabkan oleh penerapan akuntansi nilai wajar akan menimbulkan efek procyclical dalam pasar finansial. Efek procyclical akan memperparah suatu krisis karena akan mengakibatkan nilai aset keuangan yang diukur dengan nilai wajar akan terus menurun karena kondisi pasar yang buruk. Pada akhirnya nilai aset keuangan yang terus menurun ini akan menghilangkan kepercayaan investor akibat kondisi keuangan perusahaan yang melemah dan memperparah krisis. Satu hal yang perlu diingat disini adalah bahwa nilai pasar yang terus menurun ini tidak bisa mencerminkan nilai wajar dari aset yang sesungguhnya.

Argumen lain yang menentang penerapan akuntansi nilai wajar menyatakan bahwa penggunaan nilai wajar akan mengurangi komparabilitas laporan keuangan antar entitas bisnis. Hal ini disebabkan oleh adanya subjektivitas oleh manajemen dalam melakukan pengukuran aset dan liabilitas, terutama utama aset dan liabilitas yang tidak memiliki nilai pasar. Subjektivitas melalui asumsi dan model penilaian yang berbeda (untuk aset yang identik) akan menghasilkan nilai wajar dan efek terhadap laba/rugi yang berbeda. Permasalahan lain dari penerapan akuntansi nilai wajar (terutama untuk aset dan liabilitas keuangan) adalah bahwa nilai wajar akan menyebabkan volatilitas laba/rugi yang tidak bisa dikontrol. Volatilitas laba/rugi ini akan membuat kepercayaan investor berkurang atas kinerja entitas tersebut meskipun laba/rugi tersebut bukanlah kinerja riil  dari operasi utama entitas bisnis tersebut.

Selain itu, kelemahan lain dari penggunaan akuntansi nilai wajar adalah berkurang keterandalan dari informasi keuangan yang dihasilkan (terutama untuk aset dan liabilitas yang tidak memiliki nilai pasar) dan juga dampak kontraintuitif penggunaan nilai wajar pada liabilitas. Keterandalan informasi keuangan berkurang karena banyak sekali aset dan liabilitas tidak memiliki nilai pasar atau input dari pasar yang bisa dijadikan dasar pengukuran nilai wajar yang andal sehingga pengukuran berdasarkan data nonpasar/internal yang berasal dari asumsi penyaji laporan keuangan. Lebih-lebih, proses audit atas laporan keuangan akan menjadi lebih sulit dan lama karena auditor harus menguji kembali apakah asersi manajemen atas nilai aset atau liabilitas tersebut sudah mencerminkan nilai yang wajar. Dampak kontraintuitif penggunaan nilai wajar pada liabilitas akan terjadi apabila suatu entitas bisnis mengalami kesulitan finansial. Ketika sebuah entitas bisnis (terutama yang bergerak di bidang keuangan) mengalami kesulitan finansial maka liabilitas yang beredar akan mengalami penurunan nilai jauh dibawah nilai nominalnya akibat para pelaku pasar keuangan memperhitungkan risiko gagal bayar dalam perhitungannya. Hal tersebut merupakan kontraintuif karena disaat nilai kewajiban menurun akibat risiko gagal bayar, laba perusahaan akan meningkat. Menurut Credit Suisse, pada kuartal pertama 2008. 25 perusahaan dengan jumlah utang dengan risiko gagal bayar tinggi menghasilkan  untung antara $11 juta sampai $3.6 miliar. Kondisi ini akan merusak konsep dari laporan laba/rugi dan dapat saja menyesatkan investor dalam pengambilan keputusan.

Penggunaan akuntansi nilai wajar tentu saja tidak hanya membawa dampak yang negatif, tetapi juga dampak positif.  Menurut laporan Fitch Ratings, permasalahan utama dari penggunaan akuntansi nilai wajar adalah bahwa tia menciptakan kebingungan di kalangan investor sehingga hanya dengan peningkatan pengungkapan untuk membantu investor memahami penggunaan nilai wajar, terutama bagi aset atau kewajiban yang tidak dapat memiliki nilai pasar, akan menyelesaikan permasalahan ini. Bahkan, kebanyakan investor di dunia menanggapi secara positif penggunaan akuntansi nilai wajar. Mereka menyatakan bahwa standar yang menggunakan nilai wajar membantu mereka dalam memahami nilai riil terbaru dari aset dan liabilitas entitas bisnis. Nilai riil terbaru yang relevan dan reliabel ini membantu mereka dalam mengambil keputusan ekonomi yang tepat dan tidak menyesatkan. Tanggapan positif ini tentunya memenuhi dangan tujuan dari pelaporan keuangan menurut rerangka konseptual IASB, yaitu asesmen atas stewardship managemen dan penyajian informasi keuangan yang relevan untuk pengambilan keputusan.

Dampak implementasi akuntansi nilai wajar di Indonesia

Dampak implementasi akuntansi nilai wajar di Indonesia dapat kita pelajari dari negara-negara lain yang sudah melakukan implementasi. Awal implementasi akuntansi nilai wajar tentunya akan membawa dampak yang cukup buruk terutama bagi entitas di industri perbankan dan juga jasa keuangan (seperti perusahaan investasi). Implementasi awal ini akan mengubah kondisi keuangan entitas bisnis dimana pengubahan sebagian besar nilai aset dan liabilitasnya ke nilai wajarnya ini akan mengakibatkan perubahan profitabilitas yang cenderung menurun. Namun, hal ini tidak menandakan kinerja perusahaan yang buruk karena kerugian tersebut bukanlah kerugian yang permanen. Hal ini dapat dicontohkan oleh American Capital dimana pada saat awal pengimplementasian tia membukukan kerugian sebesar $813 juta pada kuartal pertama 2008 dan nilai aset investasinya turun sebesar $447 juta. Kerugian dan penurunan nilai aset pada awal implementasi ini bukanlah gambaran kondisi keuangan yang sebenarnya karena pada kuartal pertama tahun berikutnya, American Capital berhasil mengembalikan nilai aset investasinya sepertiga dari penuruan sebelumnya.

Signifikansi dampak dari penerapan implementasi akuntansi nilai wajar terhadap kondisi keuangan entitas bisnis setelah implementasi awal (selain dari performa riil entitas bisnis  dan kondisi ekonomi makro) akan bergantung pada dua hal, yaitu jenis industri entitas bisnis dan komponen aset dan liabilitas yang dimiliki dan subjektivitas manajemen (estimasi dan asumsi yang digunakan) dan penilaian profesional auditor dalam melakukan proses pelaporan keuangan.

Signifikansi dampak penggunaan nilai wajar akan berbeda-beda di industri yang berbeda. Industri keuangan dan perbankan akan terkena dampak yang lebih signifikan atas penggunaan nilai wajar dibandingkan dengan industri yang lain karena pada umumnya sebagian besar aset dan liabilitas industri perbankan dan keuangan terdiri atas aset dan liabilitas keuangan. Aset dan liabilitas keuangan memiliki dampak yang lebih sugnifikan dibandingkan aset dan liabilitas lain karena dia diukur berdasarkan nilai wajar secara berkelanjutan (recurring) dan sangat rentan terhadap perubahan nilai akibat perubahan pasar finansial yang sangat dinamis. Khusus untuk Indonesia, penerapan akuntansi nilai wajar ini akan memberikan dampak yang lebih signifikan kepada industri yang asetnya masih dinilai terlalu rendah, yaitu industri perkebunan. Industri perkebunan yang sebagian besar asetnya terdiri dari aset biologis yang masih undervalued, akan merasakan perubahan pada kondisi keuangannya akibat penggunaan nilai wajar yang lebih mencerminkan nilai sesungguhnya dari aset biologis tersebut.

Selain itu, signifikansi dampak penggunaan nilai wajar akan bergantung pada keahlian manajemen dan auditor dalam menentukan asumsi dan estimasi atas nilai wajar atas aset dan liabilitas entitas tersebut. Pilihan manajemen dalam menentukan aset dan liabilitas termasuk golongan aset dan kewajiban finansial (Untuk diperdagangkan, Tersedia untuk dijual, dan Hingga jatuh tempo) yang mana, akan mempengaruhi kondisi keuangan entitas tersebut. Selain itu, variasi penggunaan model penilaian oleh manajemen (dan judgement auditor) atas aset dan liabilitas yang tidak mempunyai input yang berasal pasar atau mempunyai input dari pasar yang tidak terandalkan, juga akan mempengaruhi kondisi keuangan entitas bisnis yang satu dengan yang lain.

Secara umum, di tengah segala macam kontroversi atas akuntansi nilai wajar, penggunaan akuntansi nilai wajar dalam pelaporan keuangan di Indonesia akan memberikan dampak yang positif bagi proses pelaporan keuangan dan kondisi ekonomi di Indonesia. Pelaporan keuangan akan menjadi lebih transparan dan relevan bagi kalangan investor karena nilai aset dan liabilitas perusahaan dengan PSAK yang baru akan lebih mencerminkan nilai yang sesungguhnya. Namun, memang perlu diadakan usaha untuk melengkapi dan memperbaiki standar yang sudah ada dengan standar lain (seperti standar yang mengatur nilai wajar atas aset takberwujud internal) yang lebih tepat secara berkelanjutan. Selain itu, diperlukan persiapan yang matang dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak (seperti penetap standar, pebisnis, auditor, dan akademisi) dalam menyambut implementasi konvergensi standar keuangan global agar dampak positif yang dibawa tia akan lebih optimal