Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, sampai 31 Agustus 2016, 21.392 Wajib Pajak (WP) sudah menyampaikan Surat Pernyataan Harta untuk pengampunan pajak dengan uang tebusan sekitar Rp 3.03 triliun atau baru 1,8% dari target tahun 2016 yang sebesar Rp 165 triliun. Uang tebusan dihitung dengan mengalikan tarif dengan nilai harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahunan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir (SPT PPh Terakhir/2015).
Nilai harta bersih merupakan selisih antara nilai harta dikurangi nilai utang. Dengan demikian, besaran uang tebusan dipengaruhi oleh tarif, nilai harta tambahan, dan nilai utang yang dinyatakan WP. Saat WP menyampaikan Surat Pernyataan, Ditjen Pajak akan meneliti kesesuaian antara daftar utang yang dilaporkan dengan dokumen pendukung. Sedangkan atas nilai harta tambahan, Ditjen Pajak tidak akan meneliti. Apakah rendahnya uang tebusan akibat rendahnya nilai harta tambahan yang dinyatakan WP?
Nilai harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi nilai harta yang telah dilaporkan dan nilai harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh 2015. Penilaian harta tambahan ditentukan dalam rupiah berdasarkan nilai nominal untuk harta berupa kas atau nilai wajar untuk harta selain kas pada akhir tahun 2015.
Keterangan tentang nilai wajar hanya terdapat dalam penjelasan Pasal 6 ayat (4) UU PP, yang menyebutkan nilai wajar adalah nilai yang menggambarkan kondisi dan keadaan dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian WP. Oleh karenanya, penilaian harta tambahan selain kas diserahkan sepenuhnya pada WP. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 118/ 2016 yang mengatur lebih lanjut tentang nilai wajar. Dalam Peraturan Dirjen Pajak nomor PER -11/PJ/2016 ditegaskan penilaian WP adalah pada akhir tahun 2015 dan nilai wajar yang dilaporkan WP dalam Surat Pernyataan tidak dilakukan pengujian atau koreksi oleh Dirjen Pajak.
Pengertian nilai wajar dalam UU PP tidak jelas referensinya. Istilah nilai wajar terdapat dalam standar akutansi yang merupakan harga yang akan diterima untuk menjual suatu harta dalam transaksi teratur antara pelaku pasar pada tanggal pengukuran. Dalam menentukan nilai wajar akan memperhitungkan karakteristik harta seperti kondisi dan lokasi harta serta pembatasan, jika ada atas penjualan harta tersebut. Nilai wajar beda dengan nilai reaisasi neto yang merupakan estimasi harga jual dikurangi estimasi biaya penjualan.
Nilai yang lebih rendah
Rancangan UU PP (RUU PP) yang disampaikan pemerintah memberikan pilihan pada WP untuk menilai harga perolehan atau harga pasar. Karena pembahasan RUU PP dilakukan secara tertutup, public tidak dapat mengetahui alasan tidak digunakannya dasar penilaian tersebut. Salah satu kemungkinannya adalah terkait penerimaan uang tebusan. Sebab, apabila dipakai harga perolehan, uang tebusan akan lebih kecil.
Anehnya, harga perolehan disebutkan dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU PP yang memberikan contoh perlakuan atas harta bersih yang kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan. Dalam contoh tersebut, pada daftar harta bersih dalam Surat Pernyataan, disebutkan WP menyatakan memiliki harta dengan penilaian berdasarkan harga perolehan. Contoh ini sama dengan yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (2) RUU PP.
Nilai wajar dalam UU PP memberikan ruang tafsir yang sangat lebar, yang mengakibatkan kebingungan dan ketidakpastian bagi WP. Sebagian WP berhitung untung ruginya menetapkan jumlah tertentu sebagai nilai wajar harta tambahan. Yang perlu diperhatikan WP adalah konsekuensinya, tidak hanya saat pembayaran uang tebusan, tetapi juga saat apabila harta tersebut nantinya dijual.
UU PPh menentukan saat harta dijual atau dialihkan, keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta akan merupakan objek PPh. Ketentuan ini berlaku bagi seluruh WP, baik yang menyelenggarakan pembukuan atau tidak. Sedangkan kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan , menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sebagai biaya. Pengurangan ini hanya dapat dinikmati oleh WP yang menyelenggarakan pembukuan. UU PPh juga mengatur, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari transaksi penjualan harta tertentu, dikenai PPh yang bersifat final. Contohnya adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan serta penjualan saham dibursa efek, yang PPh-nya dihitung berdasarkan persentase tertentu dari harga jual.
Meskipun falsafah UU PP adalah self assessment, tidak berarti semuanya diserahkan kepada WP. Pemerintah mempunyai kewenangan mengatur nilai wajar, antara lain dengan pertimbangan pengamanan penerimaan dan kepastian bagi WP. Atas harta yang penjualannya nanti dikenai PPh final, PMK sebaiknya mengatur penentuan nilai wajar atas harta tersebut sehingga uang tebusan tidak diperkecil WP. Data untuk penentuan nilai wajar atas harta yang penjualannya dikenai PPh final tersedia dan dapat diakses terbuka, baik oleh Ditjen Pajak maupun WP. Sebagai contoh, nilai wajar atas tanah dan/atau bangunan yang berlokasi di dalam negeri menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) menurut Surat Pemberitahunan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun 2015.
Peraturan yang berlaku sekarang di khawatirkan dapat dijadikan sarana bagi WP mengecilkan uang tebusannya. Atas harta tambahan yang penjualannya nanti dikenai PPh final, WP cenderung menggunakan nilai rendah. Pada saat harta tersebut dijual, secara keseluruhan beban pajak WP akan lebih kecil. Sedangkan untuk harta jenis lainnya, tidak perlu ada pengaturan nilai wajarnya. Apabila atas harta jenis lainnya WP menggunakan nilai yang lebih rendah, itu hanya akan menunda pengenaan PPhnya di waktu medatang. Masih ada waktu bagi pemerintah untuk mengatur nilai wajar atas harta tambahan.